Senin, 12 Maret 2012

Bahaya Mengkafirkan Orang Islam: Siapa yang mengkafirkan orang Islam maka dia kafir

oleh Sirevopingi Gamispakis pada 5 Maret 2012 pukul 7:14 ·
Siapa yang mengkafirkan orang Islam maka dia kafir

Orang-orang yang membela-bela ‘asaakirul qaanuun (para aparat hukum) berkata: “Sesungguhnya takfir itu adalah masalah yang berbahaya, karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata: Siapa yang mengkafirkan orang muslim, maka dia telah kafir.”

Bahkan kami mendengar dari sebagian orang-orang jahil di antara mereka, dia berkata: “Tidak boleh mengkafirkan kecuali orang yang dilahirkan dalam keadaan kafir dari kedua orang tua yang kafir.”

Jawabannya kita katakan: Takfir itu secara muthlaq bukanlah hal yang berbahaya lagi tercela, akan tetapi yang tercela lagi berbahaya adalah mengkafirkan orang muslim dengan sekedar hawa nafsu dan sekedar ta’ashshub golongan tanpa dalil syar’iy[32]

Tidak semua kufur itu tercela sebagaimana tidak semua iman itu terpuji.

Di antara iman ada yang wajib seperti iman kepada Allah, dan di antara iman ada juga yang diharamkan lagi syirik seperti iman kepada thaghut.

Begitu juga kufur, di antaranya ada yang wajib lagi terpuji seperti kufur kepada thaghut, dan di antaranya ada juga yang tercela seperti kufur terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan dien-Nya.

Dan sebagaimana mengkafirkan orang muslim tanpa dalil syar’iy adalah masalah yang berbahaya, maka begitu juga menghukumi orang musyrik atau orang kafir dengan keislaman dan keterjagaan darahnya, serta setelah itu memasukannya kedalam ukhuwwah islamiyyah dan loyalitas imaniyyah adalah masalah yang sangat berbahaya dan kerusakan yang maha besar. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ إِلا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الأرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ

Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar. (QS: Al Anfaal [8]: 73).

Dan adapun hadits yang tadi disebutkan maka tidak benar sama sekali bersumber dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan lafadz seperti ini. Tidak setiap orang yang mengkafirkan orang muslimin itu kafir apalagi bila orang muslim itu telah melakukan apa yang telah dinamakan Allah dan Rasul-Nya sebagai kekafiran.

Dan mafhuum dari lafadz ini adalah bahwa orang muslim itu tidak bisa menjadi kafir selama-lamanya, sedangkan ini terbantahkan oleh firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala tentang orang-orang yang di mana mereka itu dahulunya menampakan keislaman:

لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

“Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. (QS. At Taubah [9]: 66) 

Dan firman–Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

إِنَّ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى الشَّيْطَانُ سَوَّلَ لَهُمْ وَأَمْلَى لَهُمْ

“Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka.” (QS. Muhammad [47]: 25)


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha uas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.” (QS. Al Maidah [9]: 54)


Dan ayat-ayat lainnya.

Bila saja orang muslim itu tidak mungkin kafir atau murtad, maka apa faidah hukum-hukum orang murtad yang dicantumkan oleh para ulama di dalam kitab-kitab fiqh, yang di antara hukum-hukum itu adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

من بدّل دينه فاقتلوه

“Siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia itu.”

Sedangkan lafadz hadits yang sebenarnya di dalam Shahih Muslim adalah:

من قال لأخيه المسلم يا كافر؛ فإن كان كذلك وإلا حار عليه

 “Siapa yang mengatakan kepada saudaranya hai kafir, maka bila memang sebenarnya (ya tidak mengapa), dan kalau ternyata tidak (benar) maka tuduhan itu kembali kepadanya.”


Sabda: maka bila memang sebenarnya (ya tidak mengapa)”. Ini menunjukan bolehnya mengkafirkan orang muslim yang nampak darinya kekufuran dan penghalang takfir tidak ada padanya, yaitu bila keadaanya seperti itu maka tidak apa-apa.

Dan ungkapan:”dan kalau ternyata tidak (benar) maka tuduhan itu kembali kepadanya.” Maksudnya adalah: pengkafiran itu kembali kepadanya bila orang yang dia kafirkan itu tidak kafir.

Oleh sebab itu sesungguhnya orang yang mengkafirkan orang muslim yang nampak darinya sesuatu dari kekafiran, maka sesungguhnya dia itu tidak kafir meskipun vonisnya itu tidak menepati sasaran yang benar karena adanya penghalang dari penghalang pengkafiran yang tidak dia ketahui, maka sesungguhnya dia itu mendapat pahala atas hal itu, sebagaimana halnya yang terjadi pada Umar Al Faruq radliyallahu ‘anhu tatkala berkata kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Biarkan saya penggal leher orang munafiq ini”. Maksudnya Hathib.

Meskipun Nabi shallaallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa Hathib itu tidak kafir, akan tetapi beliau tidak mengatakan kepada Umar: kekafiran itu telah kembali kepadamu, karena kamu telah mengkafirkan orang muslim dan menghalalkan darahnya, sedangkan orang yang mengkafirkan orang muslim maka dia itu telah kafir, sebagaimana yang diklaim oleh mereka!!!

Ibnu Qayyim rahimahullah telah mengisyaratkan di dalam Zadul Ma’aad terhadap makna ini saat beliau menyebutkan faidah-faidah yang diambil dari kisah Hathib Ibnu Abi Balta’ah pada Futuh Mekkah.

Maka diketahuilah bahwa yang dicela itu –dan dia itu di atas keadaan yang sangat berbahaya– adalah hanyalah orang yang mengkafirkan orang muslim karena sekedar hawa nafsu dan fanatik golongan.

Dan untuk menambah faidah, sang muwahhid harus mengetahui bahwa hadits ini maknanya ditakwil menurut para ulama dengan banyak takwilan, yang salah satunya: Bahwa sesungguhnya orang yang mensifati dienul muslimin dan tauhid dengan kekafiran, maka dia itu telah kafir.

Takwil lain: Mereka membawa kepada orang yang meremehkan dan serampangan dengan mengkafirkan kaum muslimin, maka sesungguhnya perbuatan itu menghantarkan dia kepada kekafiran. Dan takwilan-takwilan lainnya.[33]

An Nawawiy rahimahullah telah menyebutkan sebagian pentakwilan-pentakwilan itu di dalam Syarah Shahih Muslim.

Yang menyebabkan mereka terpaksa mentakwil hadits itu dan memahaminya sesuai dengan pancaran nash-nash lain adalah karena dhahirnya bertentangan dengan satu pokok dari pokok-pokok dien ini yang muhkam menurut ahlussunnah wal jama’ah dalam masalah-masalah kekafiran dan iman, yaitu firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An Nisaa’ [4]: 48)

Dan tidak diragukan lagi bahwa menuduh kafir orang muslim karena emosi duniawi atau karena hawa nafsu adalah hinaan terhadapnya, dan itu masih di bawah syirik.

Dan karena itulah ulama yang mentakwilnya terpaksa mentakwil dengan cara mengembalikannya kepada nash-nash lain yang muhkam, serta memahaminya sesuai dengan panduan nash-nash tersebut.

Seandainya kita yang dihujat oleh lawan-lawan kita dengan syubhat seperti ini, kita mengatakan: Sesungguhnya orang yang telah mengkafirkan kami, atau telah mengkafirkan kaum muslimin muwahidiin selain kami karena alasan benci kepada mereka, kepada tauhid mereka serta karena baraa’ah mereka dari thaghut-thaghut itu, terus dia menamakan dien mereka (kaum muwahidiin) ini sebagai dien Khawarij dalam rangka membela musuh-musuh tauhid dari kalangan thaghut-thaghut itu serta dalam rangka membantu undang-undang mereka dan aparat-aparatnya untuk mengganyang kaum muwahidiin, bahwa dia itulah orang yang kafir dengan berlandaskan kepada hadits ini, tentu itu adalah hal yang benar yang tidak ada keraguan sedikitpun di dalamnya dan tentu tidak membutuhkan untuk mentakwilnya, karena itu adalah kekafiran tanpa diragukan lagi.

Adapun ucapan orang bodoh itu: Bahwa boleh dikafirkan kecuali orang yang dilahirkan dalam keadaan kafir dari kedua orang tua yang kafir, maka ini adalah ucapan yang tidak berharga yang menunjukan bahwa sesungguhnya orang yang mengucapkannya adalah sama sekali tidak mengetahui hakikat dienil Islam, dan usaha membantahnya adalah penyia-nyiaan akan waktu dan tenaga. Dan makna ucapan itu adalah bahwa orang muslim itu tidak mungkin kafir selama-lamanya, dan ini adalah ucapan yang tidak pernah diucapkan oleh seorangpun dari kalangan orang-orang terdahulu, baik oleh orang alim atau orang jahil.

Dan untuk membongkar kebatilannya adalah cukup firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sabda Rasul-Nya, serta perkataan ulama dalam bab hukum-hukum orang murtad yang telah lalu, karena sesungguhnya di dalamnya terdapat obat bagi orang yang buta kedua matanya.

***

[32] Ketahuilah sesungguhnya para penyembah kuburan (‘ubbadul qubuur atau al qubuuriyyuun) dari kalangan yang mengucapkan laa ilaaha illallaah dan mereka juga shalat, zakat, shaum bahkan haji berkali-kali, ketahuilah bahwa mereka itu bukanlah orang-orang muslim, tapi mereka adalah orang-orang musyrik atau al ghaaliyah, sehingga ketika seorang muwahhid mengkafirkan mereka maka tidaklah dikatakan dia mengkafirkan orang-orang Islam, tapi dia telah mengkafirkan orang-orang musyrik.  

Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam Minhajut Ta’sis wat Taqdiis 101: Adapun ‘ubbadul qubuur mereka itu menurut para salaf dan para ulama dinamakan al ghaaliyah, karena perbuatan mereka adalah ghuluww seperti ghuluwwnya orang-orang Nashrani dan peribadatan mereka terhadap para nabi dan orang-orang shalih. ”Beliau juga berkata 105: “Sedangkan ‘ubbadul qubuur itu bukanlah kaum muslimin menurut Ibnu Taimiyyah”. Beliau berkata juga 97: “Sedangkan seluruh ungkapan Ibnu Taimiyyah mengeluarkan ‘ubbadul qubuur dari nama jajaran kaum muslimin”. Beliau berkata ketika membantah Dawud Ibnu Jirjiis yang menuduh Khawarij orang yang mengkafirkan ‘ubbadul qubuur 69: “Siapa orangnya yang berani menetapkan keimanan ‘ubbadul qubuur? Dengan kitab apa, atau dengan sunnah mana kamu menghukumi bahwa mereka itu termasuk orang-orang yang beriman?”. Beliau juga berkata ketika menepis ungkapan bahwa mereka itu tidak menyembah selain Allah 71: “Bila berkata orang-orang jahil ‘ubbadul qubuur: Siapa yang menyembah selain Allah? Maka dikatakan kepada mereka: Kalian dan orang-orang seperti kalian dari kalangan ‘ubbadul qubuur wash shalihiin adalah jumhuur orang-orang yang menghuni padang pasir dan daerah-daerah yang hijau, terutama penduduk Iraq para penyembah Ali, Husain Al Kadhim, Abdul Qadir, Al Hasan, Az Zubair dan para wali orang-orang shalih lainnya.”

Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman rahimahullah murid Syaikh Abdullathif barkata dalam kitabnya Kasyfusysyubhatain 40: “Dan begitu juga ‘Ubbadul Qubuur, sesungguhnya mereka itu bukanlah tergolong ahlul ahwaa wal bida’, akan tetapi salaf menamakan itu al ghulaah karena kesamaan mereka dengan orang-orang Nasrani dalam hal ghuluww terhadap para nabi dan orang-orang shalih”.

Beliau berkata juga saat membantah orang yang menamakan ‘ubbadul qubuur itu sebagai kaum muslimin 64: “Mereka (orang-orang jahmiyyah dan ‘ubbadul qubuur) itu bukanlah kaum muslimin.”

Beliau juga berkata 103: “Dan adapun ‘ubbadul qubuur, sesungguhnya mereka itu menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah dinamakan al ghaaliyah karena mereka menyerupai orang-orang Nasrani dalam hal ghuluww kepada para nabi, para wali dan orang-orang saleh, sehingga siapa yang mengkafirkannya, menampakan permusuhan terhadap mereka, membencinya, menghati-hatikan dari duduk bersama mereka, dan berusaha keras dalam mentanfiir dari mereka, maka dia itu sudah mengikuti jalan kaum mu’miniin, mengikuti arahan para imam yang mendapat petunjuk, dan menyelisihi Khawarij dan Rafidlah yang suka mengkafirkan kaum muslimin. Dan siapa saja yang menjadikan pengkafiran mereka (‘ubbadul qubuur) ini seperti pengkafiran mereka (kaum muslimin) maka dia itu termasuk al mulabbisuun (orang-orang yang membuat pengkaburan masalah) dan tergolong orang-orang yang menghalang-halangi dari jalan Allah…”

Akan tetapi sungguh sangat disayangkan ada orang yang menganggap syaikh oleh banyak orang yang katanya adalah para penyebar dakwah salaf, bahkan dijadikan rujukan oleh mereka, ketika mereka ingin menghentikan dakwah tauhid yang tegas ini dan yang sedang kami sampaikan ini, mereka sengaja menghadapkan saya dengan syaikh maz’um itu yang disertai satu syaikh lagi dengan tujuan supaya saya tidak mengkafirkan mu’ayyan para penyembah kuburan dan aturan, saya bertanya kepada syaikh maz’um itu: Apa pendapat engkau tentang ‘ubbadul qubuur al juhhal apakah mereka itu muwahhiduun atau musyrikuun? Maka dia diam sementara waktu, kemudian menjawab: “Ya, ada yang mengatakan bahwa mereka itu muwahhiduun,” seraya terus mempertahankan pernyataan itu. Sungguh sangat mengerikan jawaban dari orang yang katanya syaikh rujukan yayasan salafiyyah terbesar ini, dia menjawab dengan jawaban yang lebih buruk dari pernyataan Dawud Ibnu Jirjiis Al ‘Iraqiy, Dawud hanya mengatakan mereka itu adalah kaum muslimin, sedangkan ini adalaah muwahhidiin. Sayangnya tidak ada yang mengetahui isi dialog itu sebenarnya kecuali Allah kemudian saya dan mereka berdua, karena orang lain dilarang masuk. Tapi itu ungkapan yang tidak akan saya lupakan dari orang yang katanya menyusun kitab tauhid yang padahal di dalam kitab yang dia susun itu ada pernyataan yang bertolak belakang dengan yang dia lontarkan.Pent.

[33] Wajib anda ingat bahwa ‘ubbadul qubuur dan ‘ubbadud dustuur itu bukanlah kaum muslimin, tapi kaum musyrikin meskipun mereka mengucapkan laa ilaaha illallaah dan melaksanakan rukun Islam lainnya.Pent.

***

Dari tulisan Syaikh Abu Muhammad Al Maqdisiy yang menjawab syubhat-syubhat para pembela thoghut, diterjemah oleh Ustadz Abu Sulaiman Aman Abdurrahman. Adapun syubhat-syubhat lain para pembela thoghut diantaranya: Penguasa itu tidak kafir kufrun akbar tapi kufrun duuna kufrin. Sesungguhnya mereka itu mengucapkan laa ilaaha Illallah. Sesungguhnya mereka itu shalat dan shaum. Udzur jahil. Terpaksa, tertindas, sumber pencaharian, dan mashlahat.

Dapatkan tulisan lengkapnya di http://millahibrahim.wordpress.com/2012/02/29/membongkar-syubhat-para-pembela-thaghut-2/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar